Tuesday, August 29, 2006

Menuju Kongres Mahasiswa Muslim Kota Tangerang

MENANTI BANGKITNYA MAHASISWA KOTA TANGERANG
Selasa, 22 Agustus 2006

MAHASISWA merupakan elemen yang tak terpisahkan dari perjalanan peradaban sebuah bangsa. Sejarah dunia, baik di Timur maupun di Barat, telah menjadi bukti bahwa idealisme, kepeloporan, pemikiran kritis, konsistensi semangat perubahan, dan pergerakannya yang melekat pada sosok mahasiswa telah banyak mewarnai peradaban negeri-negeri diberbagai belahan dunia.

Tidak terkecuali Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia atas kolonialisme yang telah berlangsung hampir 4 abad lamanya, merupakan buah dari kerja keras para tokoh muda yang lahir dari komunitas kampus. Bung Karno, Bung Hatta, HOS Cokroaminoto, dll, adalah motor penggerak rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.

Gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Dalam perjalanannya dari masa ke masa, bangsa ini telah mengenal beberapa dekade perjuangan mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1966

Dikenal dengan istilah angkatan ’66, merupakan aksi pergerakan mahasiswa maengangkat isu bahaya latin komunis sebagai bahaya laten negara yang harus segera dimusnahkan dari bumi Indonesia. Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, dan Yusuf Wanandi adalah diantara aktivis mahasiswa yang bergerak lantang menentang komunisme. Dimana pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai pengusung paham komunisme, telah cukup hebat merasuki sektor-sektor pemerintahan.

Dukungan masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa yang terbangun dibeberapa wilayah nusantara memaksa Presiden Sukarno untuk berpihak pada rakyat. Slogan NASAKOM yang dipaksakan Sukarno akhirnya runtuh dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Peristiwa ini menandai berakhirnya kepemimpinan Orde Lama (ORLA) dan memasuki era Orde Baru (ORBA) dibawah kepemimpinan Suharto.

Saat itu beberapa aktivis ‘66 memilih menanggalkan baju idealismenya untuk mencecap kenikmatan menjadi anggota parlemen, berduyun-duyun masuk Golkar, sebuah entitas yang kemudian dikecam. Orang yang paling keras memprotes perilaku memalukan ini adalah Soe Hok Gie, aktivis ‘66 sekaligus intelektual merdeka yang mati muda. Gie marah dan kecewa menyaksikan teman-temannya sesama demonstran melebur dalam kekuasaan; tidak sabar menjadi penunggu gerbang idealisme yang selama ini digemborkan lewat aksi-aksi demonstrasinya. Gie menuduh mereka pengkhianat karena telah melacurkan diri untuk meneguhkan legitimasi rezim Orba.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1970-an

Dalam perkembangannya, pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Suharto banyak mendapatkan penentangan dari gerakan mahasiswa. Gerakan anti korupsi muncul di tahun 1970 yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komite Anti Korupsi, yang diketuai oleh Wilopo. Tahun 1972 merebak Aksi Golput menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru, karena Golkar dinilai telah berlaku curang. Gerakan melawan kebijakan penggusuran pemukiman rakyat kecil akibat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah muncul di tahun 1972.

Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa menolak produk Jepang dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Dilatarbelakangi oleh Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya saat kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka yang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974), demonstrasi disertai dengan kerusuhan. Aktivis mahasiswa yang mencuat namanya pada masa ini diantaranya Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.

Gerakan mahasiswa Indonesia 1978. Gerakan yang mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional pada 1977-1978 yang mengakibatkan untuk pertama kalinya kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia diserbu dan diduduki oleh militer. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1980-an

Pasca diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

Gerakan pada era ini lebih terfokus pada perguruan tinggi besar. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an

Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus /Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis.

Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang notabane-nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang kritis dan bersuara lantang terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Dan banyak intel berkedok mahasiswa. Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.

Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena disetiap event nasional dijadikan untuk menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKK/BKK.

Gerakan mahasiswa decade 90-an mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat untuk mengubah kondisi yang ada, dimana rakyat sudah jenuh dengan pemerintahan yang bercokol selama 32 tahun, alih-alih mensejahterakan rakyatnya, Suharto justru semakin memperkaya keluarga dan kroni-kroninya, yang dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan yang ditandai tumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 21 Mei 1998. Berbagai kesatuan aksi diberbagai daerah muncul untuk menentang rezim Suharto. Di Aceh terbentuk SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat). Di Medan muncul DEMUD dan Agresu (Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara).

Di Bandung lahir FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung), FIM B (Front Indonesia Muda Bandung), FAMU (Front Aksi Mahasiswa Unisba), GMIP (Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk Perubahan), KPMB (Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung), FAF (Front Anti Fasis), KM ITB (Keluarga Mahasiswa ITB), dan KM Unpar (Komite Mahasiswa Unpar).

Di Jakarta lahir KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta), Forkot (Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek), Famred (Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi), Front Nasional, Front Jakarta, KamTri (Kesatuan Aksi Mahasiswa Trisakti), HMI MPO, KB UI (Keluarga Besar Mahasiswa UI), FAM UI, Komrad (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi), Gempur (Gerakan Mahasiswa untuk Perubahan), Forbes, Jarkot, LS-ADI (Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia), dan HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner).

KBM-IPB (Keluarga Besar Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor) muncul di Bogor. Di Yogyakarta ada SMKR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Kedaulatan Rakyat), KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta), PPPY (Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta), FAMPERA (Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat), dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta).

Di Solo, Bali, Malang, dan Surabaya juga lahir puluhan kesatuan aksi yang konsisten menentang kebijakan dan keberadaan rezim Suharto. Gerakan yang menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998 ini, harus berhadapan dengan berbagai tindakan represif yang menewaskan 4 aktivis mahasiswa Trisakti. Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung adalah bukti lainnya upaya represif Suharto untuk meredam gerakan ini.

Setelah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat tinggi. Mahasiswa pada saat ini memiliki garis perjuangan dan agenda yang berbeda dengan mahasiswa lainnya.

Mahasiswa Pengawal Reformasi

Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengontrol reformasi secara utuh seperti saat mereka membidani kelahirannya bulan Mei 1998. Meski demikian, sungguh bahwa mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia, atau setidaknya di daerahnya masing-masing.

Mahasiswa tetap dikenal masyarakat sebagai agent of change. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat terus-menerus sesuai dengan gelar yang melekat pada dirinya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dan mengambil peran untuk melakukan banyak perubahan terbaik untuk bangsanya.

Di alam demokrasi, suara lantang mahasiswa merupakan representasi dari realitas sosial di masyarakat yang sering kali dikesampingkan oleh para penguasa negeri ini. Masalah pendidikan, pengangguran, beban ekonomi, kesenjangan sosial, moralitas, dan korupsi merupakan beberapa hal yang sering kali menjadi energi bagi mahasiswa untuk terus bergerak membela dan menyuarakan jeritan rakyat.

Pertanyaan penutup dari tulisan ini adalah, bagaimana dengan mahasiswa di Kota Tangerang??

0 Comments:

Post a Comment

<< Home