Friday, September 08, 2006

Tujuan KMM Kota Tangerang

Kongres Mahasiswa Muslim Kota Tangerang
ANTARA HARAPAN DAN SEBUAH KEHARUSAN


Jika tidak ada aral melintang, Kongres Mahasiswa Muslim (KMM) Kota Tangerang akan diselenggarakan 10 – 12 November 2006 mendatang. Momen istimewa yang pelaksanaannya bertepatan dengan Hari Pahlawan ini memiliki alasan khusus, yaitu agar semangat juang para pahlawan untuk menegakkan panji-panji Islam melekat kuat di sanubari para aktivis dakwah kampus (ADK) Kota Tangerang. Ada 3 tujuan besar dari pelaksanaan kongres mahasiswa muslim yang akan diadakan 15 hari pasca Idhul Fitri 1427 H ini, yaitu:

1. Mengkonsolidasikan dan Menguatkan Aktivitas Dakwah Kampus

Pertumbuhan kader dakwah kampus di Kota Tangerang masih terbilang rendah. Sangat sulit mengukur statistik pertumbuhan kader dari waktu ke waktu. Euforia dan system yang terbangun dalam dakwah kampus juga masih banyak yang harus ditingkatkan.

Kegiatan syi’ar dakwah kampus terasa kembang-kempis. Belum ada satu pun kampus di Kota Tangerang yang bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan dakwah kampus. Kegiatan yang diadakan di kampus-kampus masih sporadis meski dirangkum dalam program-program dakwah reguler. Belum terbentuk kampus yang bisa dijadikan sentra da’wah ke-Islam-an yang mampu memotori aktivitas dakwah kemahasiswaan. Belum muncul kampus dakwah yang menjadi kebanggaan bagi ADK sebagaimana ITB di Bandung, UI di Jakarta, ataupun UGM di Yogyakarta. Ini mungkin mimpi yang berat, tetapi bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.

Dalam hal kaderisasi juga dapat dibilang lemah. Cukup mengkhawatirkan kondisinya jika melihat fakta lapangan ketika hampir semua kampus di Kota Tangerang mengalami masalah regenerasi kepengurusan. ADK datang dan pergi, masuk dan lulus, tanpa membekaskan dan meninggalkan struktur dan SDM yang kuat untuk memegang tongkat estafet dakwah kampus berikutnya. Sehingga tidak jarang posisi-posisi strategis dalam organisasi kampus seperti Ketua BEM, Ketua Himpunan Mahasiswa, Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terlucuti satu per satu.

Belum lagi masih terdapat cukup banyak kampus-kampus yang belum terakses oleh dakwah hingga saat ini. Dari sekitar 20-an kampus yang terdaftar di DIKTI baru 7 kampus saja yang telah terakses. Artinya sekitar 60 % kampus di Kota Tangerang memerlukan perhatian khusus untuk mendorong munculnya aktivitas dakwah ke-Islam-an.

2. Membangun Sinergi Kekuatan Berbagai Potensi Dakwah Kampus

Kondisi kampus di Kota Tangerang memang belum sebanyak dan se-bonafide di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, atau minimal Lampung, Kab. Tangerang, atau pun Kab. Serang. Bahkan belum satu pun diantaranya yang berstatus Negeri, semuanya swasta dengan status akreditasi dan popularitas masih kalah jauh dibanding perguruan tinggi di kota besar lainnya. Dampaknya secara umum kader-kader berprestasi lulusan SMU maupun mereka yang pernah aktif dalam kegiatan ke-Islam-an lebih memilih kuliah di Jakarta, Bandung, atau Lampung ketimbang memilih perguruan tinggi di kotanya. Sehingga yang mengisi kampus di Kota Tangerang adalah mayoritas pelajar tanpa background aktivis. Butuh proses panjang untuk membentuk dan membina mereka agar turut menjadi kader dakwah yang membangkitkan dakwah Islam dikampus-kampus pilihan mereka. Kalaupun ada mahasiswa yang berlatar belakang kader, kebanyakan diantara mereka adalah mahasiswa duo-status, mahasiswa dan karyawan. Mereka para pekerja yang waktu sehari-harinya banyak tersedot di perusahaan tempat mereka bekerja. Sehingga untuk manjadi penggerak dakwah kampus mereka banyak menemui kendala waktu dan kesempatan.

Akan tetapi bukan berarti jumlah SDM ADK juga tidak banyak. Ada tiga golongan kader mahasiswa yang terkait dengan tanggung jawab dakwah di Kota Tangerang. Pertama, adalah para ADK yang tinggal dan kuliah di Kota Tangerang. Mereka adalah kekuatan utamanya. Kedua, mahasiswa yang meski tinggal di luar kota, tetapi mereka kuliah di kampus yang berada di Kota Tangerang. Sehingga banyak aktivitas dan waktunya mereka gunakan di daerah yang terkenal dengan daerah seribu industri ini. Ketiga, Banyak ADK yang tetap tinggal di Kota Tangerang meski kuliah di Jakarta, Kab. Tangerang maupun Kab. Serang. Atau mahasiswa yang tetap sering singgah di Kota Tangerang walaupun kuliah di daerah lain yang lebih jauh seperti Lampung, Bandung, bahkan Yogyakarta.

Tiga elemen penting ini harus dibangun interaksinya, dikuatkan visi dakwahnya, dioptimalkan sinerginya dan difasilitasi untuk melakukan berbagai agenda-agenda besar dakwah kampus. Apa lagi jika di break-down lebih jauh, dengan mengkategorikan mahasiswa sesuai jenjang pendidikannya sejak dari D1-D4, Sarjana (S1) dan Pasca Sarjana, maka Kota Tangerang sesungguhnya memiliki kuantitas SDM kader yang tidak sedikit. Bahkan sangat mencukupi untuk melakukan berbagai peran dakwah dan perubahan-perubahan besar baik di kampus maupun luar kampus.

Eksistensi sarana dakwah ekstra kampus yang kondisinya seperti antara ‘ada dan tiada’ menjadi perhatian serius. Keberadaan KAMMI Daerah dan FSLDK belumlah memberikan andil berarti untuk mem-back-up dakwah kampus di Kota Tangerang.

Potensi-potensi tersebut mesti dicerahkan dan ‘dihidupkan’ kembali, dibangun diatas keyakinan dan optimisme, serta harus di-sinergikan untuk menguatkan bangunan dakwah Islam. Atau jika kurang memungkinkan, pembentukan wajihah baru yang mampu mewadahi dan mengeksplorasi potensi ketiga elemen mahasiswa diatas adalah satu keniscayaan. Jika salah satu parpol orde baru bias membidani kelahiran Himpunan Mahasiswa Tangerang (Himata) yang bergerak di dalam dan di luar Kota Tangerang, mengapa ADK tidak?

3. Membangun Eksistensi Kader Da’wah dalam Issu-issu Kedaerahan.

Berkenaan dengan berbagai masalah yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat seperti masalah pendidikan, iptek, moralitas maupun sosial kemasyarakatan, keberadaan kader dakwah mestinya bisa memberi peran positif. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi mahasiswa di Kota Tangerang keberadaanya masih dipandang sebelah mata oleh para pembuat kebijakan di eksekutif. Mahasiswa, terlebih mahasiswa muslim para aktivis dakwah kampus, belum masuk dalam daftar pihak-pihak yang dibutuhkan partisipasinya dalam membangun Kota Tangerang yang bervisi ‘akhlakul karimah’. Padahal mahasiswa memiliki kapasitas untuk peran itu, minimal untuk kontributor ide yang berpihak kepada pembangunan moral dan peningkatan kualitas pendidikan daerah.

Suara lantang mahasiswa sangat dibutuhkan untuk menyikapi berbagai masalah dan penyimpangan yang terjadi dimasyarakat. Jangan sampai ADK menjadi mahasiswa yang sibuk mengurusi diri sendiri saja. Tidak peduli kejadian disekitarnya yang membutuhkan uluran bantuan.

Musibah yang menimpa mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal (Poltek GT) bisa menjadi pelajaran berharga. Dimana mahasiswa Kota Tangerang, dalam hal ini ADK, tidak mampu berbuat apa-apa untuk membantu 140 mahasiswa yang di-DO massal sejak akhir Juni 2006 lalu. Kampus ditutup dan Dosen serta Staff kampusnya dipaksa mengundurkan diri. Tidak ada pernyataan simpati, apalagi aksi solidaritas massif untuk menekan kekuatan-kekuatan arogan yang masih bercokol di institusi pendidikan di Kota Tangerang. Atau bahkan sebaliknya, mungkin masih banyak yang tidak tau sama sekali tentang kejadian ini. Sementara disisi yang lain, di salah satu propinsi di luar Jawa, belum lama ini ratusan mahasiswa melakukan konvoi aksi solidaritas hanya gara-gara salah seorang mahasiswa ditilang polisi.

Faktor yang melatar-belakanginya memang beragam, baik karena faktor internal maupun eksternal. Secara internal, harus diakui bahwa perhatian para aktivis dakwah kampus tentang visi pembangunan daerah masih sangat lemah. Jangankan dalam sektor ekonomi, dalam hal pembangunan yang terkait dengan moralitas dan pendidikan tinggi saja bisa jadi sangat banyak mahasiswa ADK yang belum nge-klik. Mahasiswa cenderung pasif dan pemikirannya lebih terbatas hanya untuk diri sendiri saja, bagaimana caranya dirinya bisa cepat lulus kuliah. Faktor lainnya adalah masalah waktu. Mengenai waktu dan kesempatan yang dimiliki para kader da’wah yang mayoritas juga karyawan cukup sulit berbagi waktu untuk memikirkan agenda-agenda ke-ummat-an, masih menjadi alasan klasik yang terus saja belum terpecahkan. Sedangkan secara eksternal, terlihat bahwa pemerintah daerah, legislative daerah, maupun publik, belum memiliki kepercayaan terhadap mahasiswa Kota Tangerang. Baik dari segi pemikiran, akademik, kualitas, maupun gerakan sosial politiknya.
Ini adalah berbagai kondisi yang mesti ditindaklanjuti dengan cermat untuk perbaikan ke depan. Harus ada solusi. Dan yakinlah selalu ada jalan keluar untuk setiap problematika dakwah. Tinggal pilihannya berada di tangan para kader dakwah itu sendiri. Apakah ingin bersantai dan menonton saja akan situasi dan kondisi yang ada. Atau menjadi barisan kader yang bersedia bekerja keras dan rela berkorban untuk kemenangan dakwah ini?

Friday, September 01, 2006

Empati Anak Langit Untuk Mahasiswa Poltek GT

PELAJARAN BERHARGA UNTUK PARA KADER DA’WAH
Jum'at, 1 September 2006

“ASSALAMU’ALAIKUM-MERDEKA?!
APA YANG BISA KAMI BANTU? WASS.
;ANAK LANGIT; KOMUNITAS MUSIK SERDADOE; INSTITUT KOLONG JEMBATAN
@SUPPORT YOUR MOVEMENT.”

Demikian isi pesan singkat (SMS) yang diterima Rona, Ketua Dewan Mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal yang juga vokalis Tim Nasyid Shoutus Shilmi, 31 Agustus lalu. Jika dilihat isinya, mungkin terasa sangat sederhana, tapi maknanya sungguh LUAR BIASA.

SMS tersebut dilatar belakangi selebaran yang disebar oleh mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal terkait musibah yang menimpa mereka sejak 3 bulan yang lalu, arogansi institusi kampus dan perusahaan Gajah Tunggal yang men-DO massal 140 mahasiswanya secara semena-mena. Selebaran berisi permohonan bantuan masyarakat Kota Tangerang untuk berpartisipasi mengirimkan SMS ke Nomor Pengaduan untuk Presiden SBY, 9949, disebar sejak Selasa 29 Agustus 2006.

Kader di Kota Tangerang tentu tidak asing dengan Komunitas Anak Langit, kita mengenal mereka seperti kita mengenal sahabat dekat. Bahkan kemunculannya pada event-event besar yang diselenggarakan oleh DPD PKS Kota Tangerang selalu mengingatkan kita untuk terus peduli pada sesama. Benar, kita begitu mengenal mereka dan memahami siapa mereka.

Mereka bukan pengurus DPD PKS, DPC PKS, atau pun DPRa. Mereka juga bukan Anggota Dewan yang terhormat, mereka bukan ustadz, mereka juga bukan kalangan professional. Mereka bukan kader mahasiswa, atau pelajar sekalipun. Bahkan mungkin, sebagian besar mereka bukanlah kader-kader yang setiap sepekan sekali mendapatkan ‘suntikan’ ruhiyah dalam pertemuan-pertemuan TRP.

Memang, mereka hanya sekumpulan Anak Jalanan yang tinggal dibilangan belakang pasar Cikokol, dibawah atap yang begitu memprihatinkan. Mereka kepanasan oleh terik matahari siang, menggigil oleh dinginnya malam. Jika hujan turun wajah-wajah tegar dan pekerja keras mereka pun terguyur rintikan air hujan. Yang menjelang tidurnya, mungkin hanya mampu merajut mimpi dan cita-cita. Impian yang tinggal impian, dan cita-cita yang begitu berat untuk meraihnya.

Mereka anak jalanan yang untuk makan sehari-hari saja susah. Harus me-ngamen dari pagi hingga sore, bahkan tidak jarang malam hari mereka baru sampai dirumah. Dan mereka harus rela belajar ‘baca tulis’ disatu ruangan yang juga jadi tempat hidup mereka karena tidak mampu bayar untuk sekolah.

Tentang SMS itu, bisa jadi pulsa yang mereka miliki tidaklah seberapa. Dan HP yang mereka pakai untuk menyampaikan empatinya kepada mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal pun bukan lah HP ‘mewah’ seperti yang dimiliki sebagian besar kader da’wah. Milik mereka cuma HP yang untuk menulis SMS saja cukup sulit mengganti huruf kapital dengan huruf biasa.

Tapi justru dari mereka, satu-satunya pesan empati yang datang ke mahasiswa Poltek GT di antara ribuan HP dengan pulsa melimpah yang dimiliki para kader da’wah di Kota Tangerang. Bahkan mereka tidak peduli, siapa yang ingin mereka bantu. Mereka Cuma kumpulan anak-anak kecil usia SD-SMP, akan tetapi hati mereka terlalu peka untuk sekedar dihalangi label ‘mahasiswa’. Pun mungkin dalam benak mereka juga tak pernah terlintas sama sekali untuk bisa menjadi seorang mahasiswa. Kader mungkin bisa berkilah, kalau mereka juga sudah turut mengirim SMS ke 9949. Tapi apakah kita tidak berfikir Komunitas Anak Langit juga telah melakukan hal yang sama?

Seandainya kita boleh berkata jujur, “Apa sih yang bisa dilakukan Anak Langit untuk membantu rekan-rekan mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal?” Maka jawabannya adalah “Tidak ada yang bisa dilakukan Anak Langit, kecuali do’a”. Karena mereka tidak punya apa-apa, mereka bukan Birokrat, professional dalam bidang hukum, mereka bukan aleg, mereka bukan pengurus PKS yang punya akses luas, mereka bukan orang yang punya kelebihan harta, mereka 'bukan' kader da’wah ini, dan mereka juga bukan bagian dari keluarga mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal. Justru sebaliknya, mereka lah yang seharusnya banyak kita bantu.

Tetapi, sesaat setelah mereka menerima selebaran itu segera yang mereka lakukan adalah menghubungi rekan-rekan mahasiswa Poltek GT dengan menawarkan apa saja yang bisa mereka lakukan untuk membantu, “APA YANG BISA KAMI BANTU?” Sepertinya ini ungkapan pertama (dan paling mengharukan) yang datang ke kader mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal sejak perjalanan aksinya 3 bulan yang lalu melawan tirani dan arogansi Gajah Tunggal Group.

Kondisi sebaliknya malah penulis dapatkan ketika berinteraksi dengan kalangan kader, baik dari level aleg, pengurus struktural DPD, sampai kader di tataran umum, termasuk kalangan kader kampus yang mestinya lebih peka dan cepat tanggap. Ini mungkin tidak bisa digeneralisasi, tetapi realitas dilapangan belum ada bukti yang mampu membantah simpulan penulis. Respon yang paling sering ditemukan hanya sekedar pertanyaan basa-basi, “Gimana perkembangan temen-temen Poltek?”, “Kok bias begitu ya?”, “Kasian ya..”. Tidak lebih dari itu. Tidak ada satu pun dari kalangan kader yang pasang badan dengan mengatakan “Apa yang bias Ana bantu?”

Jangankan untuk menyokong dalam bentuk tenaga dan materi, untuk ikut serta memikirkan jalan keluar saja saling melempar tanggung jawab dengan alasan bukan bidangnya, bukan ahlinya, bukan tanggung jawabnya, atau sekedar dengan alasan sibuk. Sedih memang mendengarnya, tapi itulah kenyataannya. Apakah memang sebagian kader Partai Da’wah yang Bersih dan PEDULI ini sudah miskin ke-PEDULI-an??

Padahal semua kader da’wah ini sepakat 100%, bahwa kader tarbiyah adalah aset yang paling mahal harganya. Yang tidak bisa digantikan dengan harta benda sebanyak apa pun. Bahkan dengan jabatan! Dan mayoritas mahasiswa yang di-DO massal adalah para kader tarbiyah yang turut menjadi penguat bangunan da’wah ini. Lalu mengapa kita masih saja tidak peduli kepada mereka??

Saatnya meng-evaluasi diri, baik secara pribadi atau pun ‘struktur’. Jangan sampai alasan kesibukan tugas da’wah dan PILKADA menjustifikasi ketidak-PEDULI-an kita kepada kader yang sedang dirundung musibah. Apakah mereka harus mengadu dan mencari bantuan ke ‘tempat’ lain?

Semoga saja tidak hanya mereka, Anak-Anak Langit, yang dengan derita hidupnya cepat merasakan derita dan kesedihan mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal. Tetapi kita, yang belum Allah SWT uji dengan kelaparan, kekurangan harta, ketakutan, dan penganiayaan, moga mampu memelihara rasa empati dan tanggung jawab kepada sesama kader da’wah.

“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah : 155)

Barangkali ini merupakan pengingat dari Allah SWT., lewat SMS Anak-Anak ‘Syurga’ yang polos dan tulus. Agar kita menjadi bangunan da’wah yang benar-benar berhias ke-PEDULI-an.

Wednesday, August 30, 2006

Inspirasi Untuk Kebangkitan

PERGERAKAN MAHASISWA MUSLIM, INSPIRASI UNTUK BANGKIT

Pergerakan mahasiswa muslim di Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, pergerakan mahasiswa muslim disamping di latarbelakangi rasa tanggung jawab kepada nasib dan kesulitan hidup yang dialami oleh rakyat, mereka dalam pergerakannya dimotivasi oleh tanggung jawab ideologi ke-Islam-an yang kuat. Meski tidak sepenuhnya semua gerakan mahasiswa muslim berpijak erat-erat diatas tata nilai keislaman, akan tetapi paling tidak mereka berjuang diatas motivasi untuk membuktikan bahwa Islam adalah solusi berbagai tantangan dan problematika kebangsaan.

Mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Dan mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia terdapat beberapa organisasi mahasiswa ekstra kampus yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan salah satu organisasi mahasiswa tertua di Indonesia yag lahir pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawan ditengah kondisi bangsa yang masih bergejolak di awal-awal kemerdekaan.

Langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam melakukan perbaikan diberbagai aspek kehidupan pun diupayakan. Format awal gerakan HMI selain memberikan pembinaan agama Islam kepada mahasiswa dan masyarakat untuk mengantisipasi pengaruh sekulerisme Barat, juga mengerahkan milisi mahasiswa untuk berjuang secara fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dalam perkembangannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Dalam pemerintahan Orde Baru, hampir selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dibidani oleh kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya. Pada perkembangannya, dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari NU.

Menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa lainnya menumbangkan rezim Soeharto.


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.

Dalam periode pergolakan ini, IMM harus berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan kebijakan Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Sehingga kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada pembinaan personil, penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota maupun perguruan tinggi


Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)

Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru yang mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.

Setelah Pengurus Besar HMI melalui jumpa pers mengumumkan tentang penerimaannya asas Pancasila oleh HMI, muncullah perlawanan yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986.

HMI-MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI-MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI-MPO menjadi organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.

Ketika terjadi gerakan reformasi 98, kesatuan-kesatuan aksi buatan HMI-MPO seperti LMMY, FKMIJ, FKSMJ, dan FKMIJ memainkan peran strategis dalam menggalang kekuatan elemen gerakan mahasiswa. Melalui poros Jakarta-Yogyakarta-Makassar, yang secara tidak langsung terbentuk sebagai sentra gerakan HMI-MPO, isu-isu gerakan dikomunikasikan ke seluruh Indonesia.

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

KAMMI lahir para ahad tanggal 29 April 1998 bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang. KAMMI awal kali muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis aktivis dakwah kampus pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang.

Ada beberapa alasan mengapa KAMMI harus lahir. Pertama, adanya indikasi upaya rezim pemerintah mematikan potensi bangsa sehingga mendorong segera didengungkannya tuntutan reformasi. Kedua, suara umat Islam mulai terabaikan, sehingga penting untuk segera berbuat. Ketiga, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia. Keempat, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.

Dalam perjuangan reformasi tahun 98, bersama elemen pergerakan mahasiswa lainnya KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Rezim Suharto dengan segala macam kebobrokannya, akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998.

Namun bagi KAMMI, paska keruntuhan Suharto proses reformasi di Indonesia belumlah usai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan aksi menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.

Menjadi Inspirasi untuk Segera Bangkit

Adalah satu bukti sejarah bahwa pergerakan mahasiswa muslim tidak bisa dipandang remeh dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Bahkan, dapat dikatakan mahasiswa muslim menjadi energi yang konsisten dalam tribulasi pergerakan mahasiswa di Indonesia. Dari waktu ke waktu, dalam berbagai wadahnya, gerakan mahasiswa muslim menjadi pagar betis yang berdiri dibarisan terdepan dalam mengawal perubahan demi perubahan.

Mahasiswa muslim Kota Tangerang adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas mahasiswa muslim di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Yang padanya melekat semangat juang yang tinggi untuk bangkit dari keterpurukan, memiliki sensitifitas yang tajam terhadap penderitaan ummat, juga memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk mendidik dan men-tarbiyah bangsa ini.
Oleh karena itu, sejarah emas perjuangan mahasiswa muslim diatas mestinya dapat menjadi inspirasi mendasar bagi mahasiswa muslim di Kota Tangerang untuk segera bangkit dari ketidak-berdayaan, bangkit dari ketidak-produktifan, bangkit dari rasa pesimis, bangkit dari rasa tidak percaya diri, dan bangkit dari kemalasan. Jangan sampai menyerah sebelum berjuang!

Tuesday, August 29, 2006

Menuju Kongres Mahasiswa Muslim Kota Tangerang

MENANTI BANGKITNYA MAHASISWA KOTA TANGERANG
Selasa, 22 Agustus 2006

MAHASISWA merupakan elemen yang tak terpisahkan dari perjalanan peradaban sebuah bangsa. Sejarah dunia, baik di Timur maupun di Barat, telah menjadi bukti bahwa idealisme, kepeloporan, pemikiran kritis, konsistensi semangat perubahan, dan pergerakannya yang melekat pada sosok mahasiswa telah banyak mewarnai peradaban negeri-negeri diberbagai belahan dunia.

Tidak terkecuali Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia atas kolonialisme yang telah berlangsung hampir 4 abad lamanya, merupakan buah dari kerja keras para tokoh muda yang lahir dari komunitas kampus. Bung Karno, Bung Hatta, HOS Cokroaminoto, dll, adalah motor penggerak rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.

Gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Dalam perjalanannya dari masa ke masa, bangsa ini telah mengenal beberapa dekade perjuangan mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1966

Dikenal dengan istilah angkatan ’66, merupakan aksi pergerakan mahasiswa maengangkat isu bahaya latin komunis sebagai bahaya laten negara yang harus segera dimusnahkan dari bumi Indonesia. Akbar Tanjung, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, dan Yusuf Wanandi adalah diantara aktivis mahasiswa yang bergerak lantang menentang komunisme. Dimana pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai pengusung paham komunisme, telah cukup hebat merasuki sektor-sektor pemerintahan.

Dukungan masyarakat terhadap pergerakan mahasiswa yang terbangun dibeberapa wilayah nusantara memaksa Presiden Sukarno untuk berpihak pada rakyat. Slogan NASAKOM yang dipaksakan Sukarno akhirnya runtuh dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Peristiwa ini menandai berakhirnya kepemimpinan Orde Lama (ORLA) dan memasuki era Orde Baru (ORBA) dibawah kepemimpinan Suharto.

Saat itu beberapa aktivis ‘66 memilih menanggalkan baju idealismenya untuk mencecap kenikmatan menjadi anggota parlemen, berduyun-duyun masuk Golkar, sebuah entitas yang kemudian dikecam. Orang yang paling keras memprotes perilaku memalukan ini adalah Soe Hok Gie, aktivis ‘66 sekaligus intelektual merdeka yang mati muda. Gie marah dan kecewa menyaksikan teman-temannya sesama demonstran melebur dalam kekuasaan; tidak sabar menjadi penunggu gerbang idealisme yang selama ini digemborkan lewat aksi-aksi demonstrasinya. Gie menuduh mereka pengkhianat karena telah melacurkan diri untuk meneguhkan legitimasi rezim Orba.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1970-an

Dalam perkembangannya, pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Suharto banyak mendapatkan penentangan dari gerakan mahasiswa. Gerakan anti korupsi muncul di tahun 1970 yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Komite Anti Korupsi, yang diketuai oleh Wilopo. Tahun 1972 merebak Aksi Golput menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru, karena Golkar dinilai telah berlaku curang. Gerakan melawan kebijakan penggusuran pemukiman rakyat kecil akibat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah muncul di tahun 1972.

Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa menolak produk Jepang dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Dilatarbelakangi oleh Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya saat kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka yang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974), demonstrasi disertai dengan kerusuhan. Aktivis mahasiswa yang mencuat namanya pada masa ini diantaranya Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.

Gerakan mahasiswa Indonesia 1978. Gerakan yang mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional pada 1977-1978 yang mengakibatkan untuk pertama kalinya kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia diserbu dan diduduki oleh militer. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1980-an

Pasca diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.

Gerakan pada era ini lebih terfokus pada perguruan tinggi besar. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an

Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus /Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis.

Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang notabane-nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang kritis dan bersuara lantang terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Dan banyak intel berkedok mahasiswa. Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.

Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena disetiap event nasional dijadikan untuk menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKK/BKK.

Gerakan mahasiswa decade 90-an mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadinya krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat untuk mengubah kondisi yang ada, dimana rakyat sudah jenuh dengan pemerintahan yang bercokol selama 32 tahun, alih-alih mensejahterakan rakyatnya, Suharto justru semakin memperkaya keluarga dan kroni-kroninya, yang dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 adalah puncak gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan yang ditandai tumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 21 Mei 1998. Berbagai kesatuan aksi diberbagai daerah muncul untuk menentang rezim Suharto. Di Aceh terbentuk SMUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat). Di Medan muncul DEMUD dan Agresu (Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara).

Di Bandung lahir FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung), FIM B (Front Indonesia Muda Bandung), FAMU (Front Aksi Mahasiswa Unisba), GMIP (Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk Perubahan), KPMB (Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung), FAF (Front Anti Fasis), KM ITB (Keluarga Mahasiswa ITB), dan KM Unpar (Komite Mahasiswa Unpar).

Di Jakarta lahir KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta), Forkot (Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek), Famred (Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi), Front Nasional, Front Jakarta, KamTri (Kesatuan Aksi Mahasiswa Trisakti), HMI MPO, KB UI (Keluarga Besar Mahasiswa UI), FAM UI, Komrad (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi), Gempur (Gerakan Mahasiswa untuk Perubahan), Forbes, Jarkot, LS-ADI (Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia), dan HMR (Himpunan Mahasiswa Revolusioner).

KBM-IPB (Keluarga Besar Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor) muncul di Bogor. Di Yogyakarta ada SMKR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Kedaulatan Rakyat), KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), FKMY (Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta), PPPY (Persatuan Perjuangan Pemuda Yogyakarta), FAMPERA (Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat), dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta).

Di Solo, Bali, Malang, dan Surabaya juga lahir puluhan kesatuan aksi yang konsisten menentang kebijakan dan keberadaan rezim Suharto. Gerakan yang menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998 ini, harus berhadapan dengan berbagai tindakan represif yang menewaskan 4 aktivis mahasiswa Trisakti. Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung adalah bukti lainnya upaya represif Suharto untuk meredam gerakan ini.

Setelah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, pergerakan mahasiswa dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat tinggi. Mahasiswa pada saat ini memiliki garis perjuangan dan agenda yang berbeda dengan mahasiswa lainnya.

Mahasiswa Pengawal Reformasi

Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengontrol reformasi secara utuh seperti saat mereka membidani kelahirannya bulan Mei 1998. Meski demikian, sungguh bahwa mahasiswa masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia, atau setidaknya di daerahnya masing-masing.

Mahasiswa tetap dikenal masyarakat sebagai agent of change. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat terus-menerus sesuai dengan gelar yang melekat pada dirinya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dan mengambil peran untuk melakukan banyak perubahan terbaik untuk bangsanya.

Di alam demokrasi, suara lantang mahasiswa merupakan representasi dari realitas sosial di masyarakat yang sering kali dikesampingkan oleh para penguasa negeri ini. Masalah pendidikan, pengangguran, beban ekonomi, kesenjangan sosial, moralitas, dan korupsi merupakan beberapa hal yang sering kali menjadi energi bagi mahasiswa untuk terus bergerak membela dan menyuarakan jeritan rakyat.

Pertanyaan penutup dari tulisan ini adalah, bagaimana dengan mahasiswa di Kota Tangerang??